Monday 11 February 2019

Jadi Berakal Memahami Ibadah Haji Sebagai Amalan Untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah


Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, alasannya yakni praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. bersama keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai "Bapak para Nabi", juga "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan Ilahi" kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini.

Para ilmuwan seringkali berbicara wacana penemuan-penemuan insan yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi ibarat tulis al-Akkad,

"Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. merupakan inovasi insan yang terbesar dan yang tak sanggup diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak sanggup dibandingkan dengan inovasi roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya dampak penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan inovasi Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim mengakibatkan insan yang tadinya tunduk pada alam, menjadi bisa menguasai alam, serta menilai baik buruknya, inovasi yang itu sanggup menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama inovasi Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... inovasi tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan kekerabatan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."

"Kepastian" yang diperlukan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak sanggup diperolehnya kecuali melalui keyakinan wacana aliran Bapak monotheisme itu, alasannya yakni apa yang sanggup menjamin kepastian tersebut jikalau sekali Tuhan ini yang mengaturnya dan di lain kali yang kuasa itu? Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang nalar ilmiah insan sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar yang kuasa suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada ketika membisu atau bergerak, tidur atau jaga, pada ketika kehidupannya, bahkan sebelum dan setelah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya sanggup dihubungi mereka, tapi Tuhan insan seluruhuya secara universal.

Ajaran Ibrahim as. atau "penemuan" dia benar-benar merupakan suatu lembaran gres dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta dedikasi pada yang hak dan transenden. Namun itu semua hingga masa Ibrahim bukan merupakan aliran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun kemudian telah dikumandangkan aliran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.

Ibrahim tiba mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua insan dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, alasannya yakni kekuatan si besar lengan berkuasa diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah yakni atas pesan yang tersirat kebijaksanaan-Nya. Dia sanggup mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.

Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan wacana insan dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa insan yakni makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan alasannya yakni insan terlalu tinggi nilainya sehingga tak masuk akal untuk dikorbankan atau berkorban, tapi alasannya yakni Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai mengambarkan bahwa apa pun --bila panggilan telah tiba masuk akal untuk dikorbankan demi alasannya yakni Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai mengambarkan bahwa hanya alasannya yakni kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.

Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya dan hal ini secara agamis atau Qur'ani terbukti bukan saja dalam penemuannya wacana keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An'am 6:75, tapi juga dalam keyakinan wacana hari kebangkitan. (Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut al-Qur'an meminta pada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana caranya menghidupkan yang mati, dan undangan dia itu dikabulkan Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).

Demikian sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrahim, sehingga masuk akal jikalau dia dijadikan referensi seluruh manusia, ibarat ditegaskan al-Qur'an surah al-Baqarah 2:127. Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah, alasannya yakni beliaulah bersama putranya Ismail yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Ka'bah (QS. al-Baqarah 2:127), dan dia pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari'at haji (QS. al-Haj 22:27).

Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan insiden yang dia dan keluarga alami, pada hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah haji, wacana keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut Ibrahim, yang pada dasarnya adalah,

  1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.
  2. Keyakinan wacana adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.
  3. Keyakinan wacana kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.

Ketiga inti aliran ini tercermin dengan terang atau dilambangkan dalam praktek-praktek ibadah haji aliran Islam. Tulisan ini akan menitikberatkan uraian menyangkut butir ketiga, walau pun disadari, keyakinan wacana keesaan Tuhan dan ketundukan semua makhluk di bawah pengawasan, pengaturan dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya insan menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan, insan dalam pandangan al-Qur'an, sama dari segi ini dengan makhluk-makhluk lain, alasannya yakni walau pun insan mempunyai kemampuan menggunakan makhluk-makhluk lain, namun kemampuan tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akhir penundukan Tuhan dan alasannya yakni itu ia tak dibenarkan berlaku diktatorial terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap dekat dengannya.

Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar insan untuk menyadari, bahwa semua insan dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, alasannya yakni semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt. QS. al-Hujurat 13 menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.

Ibadah haji dikumandangkan Ibrahim as. sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu, yakni praktek ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji.

Al-Qur'an Surah al-Baqarah 2:199, menegur sekelompok insan (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa diri mempunyai keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melaksanakan wuquf. Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur'an dan turunlah ayat tersebut diatas.

"Bertolaklah kau dari daerah bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah bersama-sama Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Tak terang apakah praktek bergandengan tangan ketika melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari aliran Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan. Namun yang niscaya Nabi saw membatalkannya, bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi alasannya yakni alasan-alasan simpel pelaksanaan thawaf.
Salah satu bukti yang terang wacana keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan yakni isi khutbah Nabi saw pada haji wada' (haji perpisahan) yang pada dasarnya menekankan:
Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melaksanakan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.

Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal


Makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia meliputi seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan beradaptasi dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini. Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta usaha mencapainya. Kemanusiaan mengakibatkan makhluk ini mempunyai moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia yakni makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia yakni makhluk sosial yang tak sanggup hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk kasatmata atau simbolik dan kesemuanya pada akibatnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di antaranya.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak sanggup disangkal bahwa pakaian berdasarkan kenyataannya dan juga berdasarkan al-Qur'an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut sanggup mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga sanggup memberi dampak psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany di daerah dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus menggunakan pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. "Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai insan yang sesungguhnya. [2]

Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia mencicipi kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar dedikasi kepada-Nya.

Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena insan berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias agar setiap haji menyadari bahwa insan bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan yakni hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, agar masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Ketiga, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana contohnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka'bah ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang berjulukan Hajar, seorang perempuan hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di daerah itu, namun demikian budak perempuan ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan alasannya yakni keturunan atau status sosialnya, tapi alasannya yakni kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Keempat, setelah selesai melaksanakan thawaf yang mengakibatkan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di sini muncul lagi Hajar, budak perempuan bersahaja yang diperistrikan Nabi Ibrahim itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan perempuan ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti jauh sebelum insiden pencaharian ini, ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya samasekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya yakni "kesucian dan ketegaran" [3] --sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran-- dan berakhir di Marwah yang berarti "ideal manusia, perilaku menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain" [4].

Adakah makna yang lebih agung berkaitan dengan pengamalan kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi makna-makna yang digambarkan di atas? Kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya insan dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana' fi Allah maka sai' menggambarkan usaha insan mencari hidup --yang ini dilakukan begitu selesai thawaf-- yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan darul abadi merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan. Maka dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. Setengah kesadaran itu dimulai sa'i yang menggambarkan, kiprah insan yakni berupaya semaksimal mungkin. Hasil usaha niscaya akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, ibarat yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu.

Kelima, di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah wuquf (berhenti) hingga terbenamnya matahari. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma'rifat pengetahuan sejati wacana jati dirinya, simpulan perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang 'arafah untuk menjadi 'arif atau sadar dan mengetahui. Kearifan apabila telah menghias seseorang, maka Anda akan, berdasarkan Ibnu Sina, "Selalu gembira, senyum, betapa tidak bahagia hatinya telah besar hati semenjak ia mengenal-Nya, ... di mana-mana ia melihat satu saja, ... melihat Yang Maha Suci itu, semua makhluk di pandangnya sama (karena memang semua sama, ... sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun alasannya yakni jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.

Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka niscaya akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.

Referensi:
  • Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-'Aqaid Wa al-mazahib, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.
  • Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.
  • al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami'li Ahkam al-Qur'an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h. 180.
  • Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi 'l-Islam, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.

No comments:

Post a Comment