Monday 4 February 2019

Jadi Cendekia Aturan Orang Renta Dihajikan Oleh Anak Yang Belum Haji


Saya berencana menghajikan kedua orang renta lantaran memang keduanya belum pernah berhaji. Hal ini saya lakukan semata-mata sebagai bakti anak kepada kedua orang tua. Tetapi yang perlu diketahui saya ini juga belum pernah haji. Yang ingin saya tanyakan, apakah menghajikan kedua orang renta terlebih dahulu padahal saya belum pernah haji sanggup diperbolehkan? Dan bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Menghajikan kedua orang renta tentu merupakan sebuah amal kebajikan dan merupakan salah satu bukti bakti anak kepada keduanya. Sebab, sebagai anak berbuat kebajikan kepada kedua orang renta atau yang dikenal dengan istilah birrul walidain ialah sebuah kewajiban tak tersangkal.

Sampai di titik ini bekerjsama tidak ada perkara berarti. Masalah kemudian muncul dikala si anak menghajikan kedua orang tuanya, sementara ia sendiri belum berhaji. Biasanya alasan yang dikemukakan ialah lebih lantaran sebagai penghormatan dan bakti sang anak kepada kedua orang tuanya, alasan lainnya usia keduanya sudah sepuh padahal belum berhaji.

Alasan-alasan ini tampak sangat logis dan gampang dimengerti. Tetapi apakah alasan-alasan ini benar-benar sanggup diterima secara nalar. Bisa jadi jawabnya iya, tapi sanggup juga tidak.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan diwajibkan bagi setiap mulsim yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh syara’. Sedangkan tindakan sang anak dengan memberangkat kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum dirinya termasuk tindakan memperlihatkan kesempatan terlebih dahulu kepada pihak lain dalam soal ibadah.

Dari sini kemudian terlihat terperinci persoalannya, yaitu bagaimana aturan memberangkatkan haji kedua orang tua, sementara pihak yang memberangkatkan belum menunaikan kewajiban haji tersebut, padahal haji ialah ibadah wajib dan termasuk rukun Islam.

Untuk menjawab perkara ini kami akan menghadirkan salah satu kaidah fikih yang termaktub dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair. Bunyi kaidah tersebut ialah “bahwa mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh.”

اَلْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1403 H, halaman 116).

Kaidah ini mengandaikan bahwa mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah dihukumi makruh. Dengan kata lain, sebaiknya tindakan mendahulukkan ini dihindari. Berbeda dengan sebaliknya, yaitu mendahulukan atau lebih mementing orang lain daripada diri sendiri dalam hal yang berkaitan dengan non-ibadah maka sangat dianjurkan.

وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ قَالَ تَعَالَى وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Artinya, “Dan mendahulukan orang lain dalam perkara selain ibadah itu sangat baik. Allah SWT berfirman, ‘Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas dirinya sendiri, padahal mereka juga memerlukan,’ (Surat Al-Hasyr ayat 9),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Oleh lantaran itu, maka Sulthanul Ulama` Syekh Izzuddin Abdus Salam memandang, dilarang mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri dalam soal ibadah. Sedangkan argumentasi yang dikemukakan ia ialah bahwa esensi atau tujuan ibadah intinya untuk mengagungkan Allah SWT. Karenanya, dikala ada seseorang yang mendahulukan atau mengutamakan pihak lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka orang tersebut dianggap mengabaikan pengagungan kepada-Nya.

قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إِيثَارَ فْي الْقُرُبَاتِ فَلَا إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الْغَرْضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالْإِجْلَالُ فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ

Artinya, “Syekh Izzuddin berkata, dilarang mengutamakan orang lain sementara dirinya membutuhkan dalam hal ibadah. Karenanya, dilarang mengutamakan orang lain dalam hal air untuk bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama dalam shalat jamaah. Sebab, esensi dari ibadah ialah mengagungkan Allah SWT. Oleh lantaran itu barangsiapa yang lebih mengutamana orang lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka ia telah mengabaikan pengagungan kepada-Nya,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Jika klarifikasi ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawabannya ialah tindakan seorang anak yang menghajikan kedua orang renta sementara ia sendiri belum pernah berhaji ialah boleh tetapi makruh. Sebab tujuan ibadah ialah pengagungan kepada Allah SWT.

Hal ini selaras dengan kaidah di atas yang menyatakan, “Bahwa mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh.” Karena dihukumi makruh, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan. Yang paling baik ialah berhaji sendiri gres kemudian menghajikan kedua orang tuanya.

Sumber: www.nu.or.id

No comments:

Post a Comment