Tuesday, 1 October 2019

Jadi Arif Syarat Rukun Jual Beli Berdasarkan 4 Madzhab


Syarat rukun jual beli dalam islam berdasarkan pendapat 4 madzhab. Pada dasarnya aturan Muamalah (jual beli) yaitu mubah (diperbolehkan) sebagaimana yang telah disepakati oleh lebih banyak didominasi ulama fiqih dalam kitab-kitab mereka dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi ‘Al-Ashlu Fil Asy-ya-i Wal A’yani Al-Ibahatu’. Kaidah ini berlandaskan beberapa dalil syar’i, di antaranya yaitu firman Allah: “Dialah (Allah) yang membuat segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Dan jual beli (perdagangan) yaitu termasuk dalam katagori muamalah yang dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al Baqarah: 275). Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang memudharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”. Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk jual beli aturan asalnya boleh kecuali jual beli yang tidak boleh oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.

I. PENGERTIAN JUAL BELI


Jual Beli bisa didefinisikan sebagai : Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu yaitu ijab dan qabul, yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Dalam Pengertian jual beli berdasarkan istilah, terdapat beberapa pendapat di kalangan para Imam Mazhab, yakni: madzhab hanafi, maliki, hanbali, syafi'ie.

Madzhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, jual beli mengandung dua makna, yakni:

  • Makna khusus, yaitu menukarkan barang dengan dua mata uang, yakni emas dan perak dan yang sejenisnya. Kapan saja lafal diucapkan, tentu kembali kepada arti ini.
  • Makna umum, yaitu ada dua belas macam, diantaranya yaitu makna khusus ini.[3]

Madzhab Maliki

Menurut Mazhab Maliki, jual beli atau bai’ berdasarkan istilah ada dua pengertian, yakni:

  • Pengertian untuk seluruh satuannya bai’ (jual beli), yang meliputi janji sharaf, salam dan lain sebagainya.
  • Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang dipahamkan dari lafal bai’ secara mutlak berdasarkan uruf (adat kebiasaan).

Mazhab Hanbali

Menurut ulama Hanbali jual beli berdasarkan syara’ ialah menukarkan harta dengan harta atau menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu manfaat yang mubah pula untuk selamanya

Mazhab Syafi’i

Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli berdasarkan syara’ ialah janji penukaran harta dengan harta dengan cara tertentu.

Dari beberapa argumen tersebut, maka sanggup disimpulkan bahwa jual beli yaitu suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan barang dan pihak yang lain mengikat diri untuk membayar harganya.

Dasar Hukum Jual Beli
Pada dasarnya aturan jual beli yaitu boleh. Sebagai dasar tersebut, sanggup dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 sebagai berikut :

"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba  tidak sanggup bangkit melainkan menyerupai berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, yaitu disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah hingga kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu  (sebelum tiba larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu yaitu penghuni-penghuni neraka; mereka awet di dalamnya."

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kau membunuh dirimu ; Sesungguhnya Allah yaitu Maha Penyayang kepadamu."

Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.” Oleh karena kerelaan yaitu kasus yang tersembunyi, maka ketergantungan aturan sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang memperlihatkan suka sama suka, menyerupai adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.

II. MACAM-MACAM JUAL BELI


Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:

  1. Jual beli barang dengan uang tunai
  2. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
  3. Jual beli uang dengan uang (Sharf)
  4. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya diserahkan kemudian)
  5. Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah laba yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan laba tertentu. Karakteristik Murabahah yaitu si penjual harus memberitahu pembeli perihal harga pembelian barang dan menyatakan jumlah laba yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Untuk sanggup mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.

III. RUKUN JUAL BELI


Jual beli mempunyai 3 (tiga) rukun:

  1. Al- ‘Aqid (orang yang melaksanakan transaksi/penjual dan pembeli),
  2. Al-‘Aqd (transaksi),
  3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi meliputi barang dan uang).

IV. MASING-MASING RUKUN MEMILIKI SYARAT


Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah sanggup membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).

Seorang budak apabila melaksanakan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya yaitu milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang mempunyai harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali kalau pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah "Dan ujilah  anak yatim itu hingga mereka bakir balig cukup akal untuk kawin. kemudian kalau berdasarkan pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kau Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu berdasarkan yang patut. kemudian apabila kau menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kau adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)" (QS. An-Nisaa’: 6).

Para ulama jago tafsir mengatakan: “Ujilah mereka supaya kalian mengetahui kepintarannya”, dengan demikian bawah umur yang belum mempunyai kecakapan dalam melaksanakan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia baligh. Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak bisa mengendalikan harta.

Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kau membunuh dirimu ; Sesungguhnya Allah yaitu Maha Penyayang kepadamu." (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah II/737 no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)

Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada kondisi tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya, menyerupai bila seseorang mempunyai hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk menjual hartanya, kemudian membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak yang berwenang biar menuntaskan kasusnya atau memperlihatkan eksekusi kepadanya (bisa dengan penjara atau selainnya). Nabi bersabda: “Orang kaya yang sengaja menunda-nunda pembayaran hutangnya telah berbuat zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi.” (HR. Abu Daud)

Masalah: Hukum membeli barang dengan harga miring dari seseorang yang butuh uang tunai karena kepepet (terpaksa)

Dalam duduk kasus ini ada tiga pendapat para ulama fiqih, tetapi pendapat yang rojih (terkuat) ialah yang menyampaikan dibolehkan dan bahkan dianjurkannya jual beli menyerupai ini dalam rangka membantu saudara seiman yang membutuhkan uang tunai secepatnya. Juga dikarenakan tidak terdapat unsur keterpaksaan, karena orang ini akan menjual barangnya kepada siapapun dengan harga miring. Namun sebagian ulama dalam mazhab hanbali memakruhkan membeli barang tersebut meskipun transaksinya sah.
Adapun hadits yang berbunyi: “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli barang dari orang yang sedang kepepet”. Hadits ini yaitu dho’if (lemah), diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3384. (lihat Shohih Fiqhis Sunnah IV/271)

Al-‘Aqdu ( transaksi / ijab-qabul ) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.

Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.

Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi - pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i - melemahkan pendapat pertama dan menentukan pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual-beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali. (lihat. Raudhatuthalibin 3/5).

Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga sanggup diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang kemudian membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak).

Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).

Imam Baijuri seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata, “mengikuti pendapat yang menyampaikan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, biar tidak berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang mengucapkan lafaz ijab-qabul ketika berjual beli akan ditertawakan…” (lihat. Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).

Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin kemudian barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul. Wallahu a’lam.

Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi meliputi barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi mempunyai beberapa syarat:

  • Barang yang diperjual-belikan mempunyai manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia niscaya mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih). Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai mana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud dia berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil laba menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)

  • Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi tepat dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam perihal seseorang yang tiba ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud II/305 no.3503)

Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi serah-terima barang.

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)

  • Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli

Maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)

  • Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.

Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar klarifikasi dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya.

Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di ketika janji jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai teladan padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis teladan yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)

Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan eksklusif kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).

V. HIKMAH JUAL BELI


Allah swt. mensyariatkan jual beli sebagai proteksi keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Karena semua insan secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan sebagainya. Kebutuhan menyerupai ini tidak pernah terputus selama insan masih hidup.

Tidak seorangpun sanggup memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut bekerjasama dengan lainnya. Dalam kekerabatan ini tidak ada satu hal pun yang lebih tepat dari pertukaran; dimana seseorang memperlihatkan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang mempunyai kegunaan dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Jika janji telah berlangsung, segala rukun dan syaratnya dipenuhi, maka konsekuensinya; penjual memindahkan barang kepada pembeli dan pembelipun memindahkan miliknya kepada penjual sesuai dengan harga yang disepakati, sehabis itu masing-masing mereka halal memakai barang yang pemiliknya yang dipindahkan tadi di jalan yang sanggup dibenarkan syariat

Dengan demikian sanggup dipahami bahwa Allah swt. telah mensyariatkan jual beli, sebagai tujuan biar diantara umat saling bekerjasama atau saling bermuamalah antara satu dengan lainnya, dan saling memenuhi kebutuhan secara timbal balik di antara mereka, dan sebagainya

Sebelum pindah madzhab baca dulu Aturan Dalam Bermadzhab.

No comments:

Post a Comment