Tuesday, 1 October 2019
Jadi Cerdik Hukum Dalam Bermadzhab Dalam Kajian Fiqih
Aturan Dalam Bermadzhab dalam kajian fiqih. Taklid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid yang telah menggali aturan darisumber aslinya. Taklid sendiri merupakan kewajiban bagi orang yang tidak bisa mencapai tingkatan Mujtahid Mutlak, walaupun sudah mencapai tingkatan Mujtahid Mazhab dan Mujtahid Fatwa. Sedangkan bagi Mujtahid Mutlak sendiri, haram hukumnya bertaklid pada pendapat mujtahid lain. Ia harus menganalisa dalil sendiri tanpa ada ikatan dengan pemikiran ulama lain.
Dalam problem taklid, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqallid (orang yang bertaklid).
Pertama, harus mengikuti salah satu dari empat mazhab resmi dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali. Ibnu Shalah mengatakan, konsensus ulama telah menyatakan, bahwa dihentikan bertaklid pada selain mazhab yang empat, hatta untuk dikerjakan pribadi, apalagi untuk difatwakan. Dalam hal ini, bukan berarti mengesampingkan ilmu dan ijtihad ulama dari selain mazhab empat, namun disebabkan kurangnya perilaku militansi murid-murid selain mazhab empat untuk menjaga pemikiran gurunya, sehingga dikhawatirkan terjadinya penyimpangan dan perubahan.
Misalnya mazhab Zaidiyah yang diafiliasikan pada Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Dunia Islam bukan tidak mengakui kemampuan dan intelektualitas Imam Zaid sebagai seorang mujtahid, lantaran selain sebagai pemikir Islam yang mempunyai dapat dipercaya tinggi dalam tingkat keilmuan, dia tergolong ulama yang saleh. Hanya saja, murid-muridnya mengabaikan perjuangan gurunya, sehingga tak bisa menjaga hasil karya Imam Zaid. Hal ini tak terjadi pada mazhab yang empat, murid-murid dari empat mazhab ini bisa menjaga ilmu gurunya, dan bahkan mengembangkannya lebih jauh.
Kedua, harus menguasai perangkat aturan dalam problem yang ia ikuti, berupa syarat dan kewajiban. Semisal dalam wudhu, maka muqallid dituntut untuk mengetahui syarat dan rukun wudhu yang telah dirumuskan oleh mujtahid yang akan ia ikuti. Ketika seseorang akan mengikuti pendapat Imam Malik, misalnya,—di mana mazhab Maliki menghukumi tidak batal bersentuhan kulit lelaki dengan wanita tanpa ada tujuan dan adanya rasa lezat—maka tidak sah taklidnya hingga mengetahui segala kewajiban yang harus dipenuhi dalam wudhu mazhab Maliki, menyerupai kewajiban mengusap semua rambut kepala, menggosok anggota wudhu, serta cepat-cepat (muwâlât) dalam melakukan rukun-rukun wudhu.
Ketiga, ada niatan mengikuti sebelum mengerjakan. Maka dari itu, umpama ada orang mengerjakan suatu ibadah dan menyalahi kriteria yang berlaku pada umumnya tanpa ada niatan untuk mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkannya, maka ibadahnya dihukumi batal dan wajib mengulangi. Boleh bertaklid sehabis mengerjakan asal memenuhi dua syarat: (1) dikala mengerjakannya tidak mengetahui bahwa tindakannya itu sanggup membatalkan pada amalnya. Bahkan, ia mengerjakan lantaran lupa terhadap hal yang sanggup membatalkan, atau lantaran tidak mengetahuinya, (2) imam yang akan diikuti memperbolehkan taklid sehabis amal. Jadi, umpama ada seorang akan mengikuti pendapat dalam mazhab Hanafi, maka ia harus mengetahui dulu apakah dalam mazhab Hanafi diperbolehkan taklid sehabis amal.
Keempat, tidak mengikuti yang ringan-ringan saja. Artinya, dalam bermazhab, seorang muqallid tidak boleh menentukan pendapat-pendapat ulama yang ringan dan sesuai selera. Dalam syarat ini, bersama-sama terjadi khilaf antara kalangan Fikih dan Ushul Fikih, namun dalam kitab Jam’ul-Jawâmi’ disebutkan pelarangan mengambil aturan yang ringan-ringan saja. Jadi, tidak boleh dikala seseorang kesulitan air untuk wudhu dan debu untuk tayamum, dan yang ada hanya pasir yang suci, ternyata tidak bertayamum dengan pasir lantaran bertaklid pada mazhab Syafi’i yang tidak memperbolehkan bertayamum dengan pasir. Di satu sisi, ia tidak shalat lihurmatil-waqti dan tidak mengkadhainya dengan mengikuti pendapat Imam Malik yang memperbolehkan tidak shalat dan tidak wajib mengkadhai dikala tidak menemukan air, debu, dan pasir. Padahal dalam posisi demikian, dalam mazhab Syafi’i diwajibkan shalat lihurmatil-waqti dan wajib mengkadhainya dikala sudah ada benda untuk bersuci, baik air atau debu dikala berada di daerah yang tayamumnya sanggup menggugurkan pada shalat.
Kelima, yang diikuti ialah seorang mujtahid, walaupun Mujtahid Fatwa, menyerupai Imam Rafi’i, Imam Ramli, dan Ibnu Hajar al-Haitami. Artinya, seorang muqallid tidak diperbolehkan mengikuti pendapat yang lemah. Tetapi, menyerupai yang diungkap Sayid Abdullah bin Umar al-Alawi (1209-1265 H), boleh mengikuti pendapat yang lemah dari dua pendapat yang berbeda, asal sudah ditarjih oleh sebagian ulama yang mempunyai kapabilitas dalam tarjih. Bahkan Imam Kurdi mengatakan, mengamalkan pendapat lemah dalam satu mazhab dengan beberapa syarat yang ada, lebih baik daripada berpindah mazhab. Dalam kitab Qawâ’idul-Fiqh (1/576) disebutkan: baik untuk menawarkan aliran pendapat yang lemah dikala dalam keadaan darurat dengan tujuan mempermudah. Walaupun dalam kitab tersebut juga disebutkan larangan mengamalkan dan menawarkan aliran pendapat yang lemah kalau tidak keadaan darurat.
Keenam, tidak boleh mengikuti pendapat seorang imam yang telah dicabut oleh imam itu sendiri, menyerupai yang terjadi pada Imam Syafi’i dengan qaul qadîm-nya. Sebab, pendapat kedua dari mujtahid yang sama berstatus nâsikh (menghapus) pada pendapat pertama, sehingga muqallid tidak boleh mengamalkan salah satu dari dua pendapat yang berbeda dari satu mujtahid kecuali sudah mengetahui mana pendapat yang awal dan yang akhir. Lantas bagaimana dengan sebagian qaul qadîm Imam Syafi’i yang masih dipakai? Sebenarnya, pendapat tersebut sudah tidak murni lagi dari pendapat Imam Syafi’i, melainkan hasil tarjih dari sekumpulan Mujtahid Mazhab yang telah meneliti dan membandingkan antara dua dalil lantas menentukan pendapat yang qadîm dari Imam Syafi’i.
Ketujuh, tidak mencampur aduk (talfîq) pendapat dua imam dalam satu amal ibadah (qadhiyyah), sehingga kedua imam tersebut setuju akan kebatalan ibadah tersebut. Syarat ini berdasarkan pendapat yang muktamad dalam mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Berbeda dengan ketiganya ialah pendapat dalam mazhab Maliki yang memperbolehkan talfîq dalam problem ibadah saja, tidak pada yang lain.
Maksud tidak mencampur aduk, dalam sopan santun bermazhab, muqallid dituntut mengikuti pendapat imam seutuhnya dalam perangkat aturan yang telah dirumuskan dalam mazhabnya. Ketika mengikuti Imam Syafi’i, misalnya, dalam problem wudhu, maka ketentuan dalam mazhab Syafi’i - menyerupai syarat, rukun, dan yang membatalkan wudhu - semuanya harus diikuti.
Contoh talfîq yang tidak diperbolehkan ialah seorang lelaki dikala wudhu mengusap sebagian kepala lantaran mengikuti mazhab Syafi’i. Lalu dikala bersentuhan kulit dengan perempuan, ia mengikuti pendapat mazhab Hanafi yang menghukumi tidak batal. Kemudian ia shalat. Maka shalatnya dihukumi batal, lantaran baik mazhab Syafi’i atau mazhab Hanafi semua setuju akan kebatalan wudhu orang tersebut.
Wallahu A’lamu Bisshowab… !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment