Friday 13 September 2019

Jadi Pintar Hakekat Istighatsah Dan Tawassul


Hakekat Istighatsah dan Tawassul. Para ulama menyerupai al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, mempunyai makna dan hakekat yang sama. “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya ancaman (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).

Sebagian kalangan ulama mempunyai persepsi bahwa tawassul yaitu memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan ancaman dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan ancaman secara hakiki. Persepsi yang keliru perihal tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya yaitu memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya ancaman (keburukan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.

Ide dasar dari tawassul ini yaitu sebagai berikut. Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi menurut aturan kausalitas; alasannya akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu wa ta’ala bahwasanya Maha Kuasa untuk menunjukkan pahala kepada insan tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan insan untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan bahwasanya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. al-Baqarah : 45).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah)”. (QS. al-Ma’idah : 35).

Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang sanggup mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebabkan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu alasannya dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akhir tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh lantaran itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan impian biar permohonan kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi, tawassul yaitu alasannya yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di dikala mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul, tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang membuat manfaat dan mendatangkan ancaman secara hakiki kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah alasannya dikabulkannya permohonan hamba lantaran kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.

Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah subhanahu wa ta’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula sehabis mereka meninggal, Allah subhanahu wa ta’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri.

Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat biar diberikan kesembuhan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan obat hanyalah alasannya kesembuhan. Jika obat yaitu tumpuan sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul yaitu sabab syar’i (sebab-sebab yang diperkenankan syara’).

Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari Lebanon bercerita, “Suatu ketika seorang Wahhabi dengan beraninya berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!” Saya bertanya, “Kalau Anda terjangkit sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepada”.

Saya berkata: “Mengapa Anda melaksanakan itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak eksklusif saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat mediator dan alasannya musabab untuk kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau anda minum dua tablet obat tersebut sebagai mediator kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah menyebabkan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai mediator kami, dan beliaulah mediator yang paling agung.” Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak sanggup menjawab.

Oleh karenanya, tawassul merupakan hal yang harus kita lakukan. atau sanggup dikatakan tawasul sebagai perantara, menyerupai juga dalan mencari rezeki. Maka juga harus ada mediator (bos/majikan, teman, atau pemberi kerja).

No comments:

Post a Comment