Monday, 25 January 2016

Jadi Berilmu Tahap Perkembangan Sopan Santun Anak Usia Dini Berdasarkan Para Ahli


Moral berasal dari bahasa latin "mores" yang artinya tata cara, kebiasaan, dan adat. Menurut Hurlock, moralitas yaitu kebiasaan yang terbentuk dari standar sosial yang juga dipengaruhi dari luar individu. Moralitas berkaitan dengan sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan yang terjadi di bawah sadar wacana tindakan yang benar dan yang salah, dan untuk memastikan individu tersebut akan berusaha berbuat sesuai dengan harapan masyarakat.

Sedangkan berdasarkan Immanuel Kant, sopan santun yaitu kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau aturan batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Dapat disimpulkan bahwa moralitas yaitu sistem kepercayaan, penghargaan, danketetapan wacana perbuatan benar dan salah yang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan dari standar sosial yang dipengaruhi dari luar individu atau sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

Perkembangan sopan santun berkaitan dengan aturan dan konvensi wacana apa yang seharusnya dilakukan oleh insan dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan sopan santun mempunyai dimensi intrapersonal yang mengatur acara seseorang saat beliau tidak terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dalam penyelesaian konflik. Pada usia 4-6 tahun anak mulai menyadari dan mengartikan bahwa sesuatu tingkahlaku ada yang baik dan ada yang tidak baik.

Menurut Piaget dalam pengamatan dan wawancara pada anak usia 4-12 tahun menyimpulkan bahwa anak melewati tahap yang berbeda dalam cara berfikir wacana moralitas, yaitu:

1. Tahap moralitas Heteronom. Anak usia 4-7 tahun


Menunjukkan moralitas heteronom, yaitu tahap pertama dari perkembangan moral. Anak berfikir bahwa keadilan dan peraturan yaitu properti dunia yang tidak sanggup diubah dan dikontrol oleh orang. Anak berfikir bahwa peraturan dibentuk oleh orang cukup umur dan terdapat pembatasan-pembatasan dalam bertingkah laku.

Pada tahap ini, anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laris berdasarkan konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan. Anak juga percaya bahwa aturan tidak sanggup diubah dan diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa. Anak berfikir bahwa mereka tidka berhak menciptakan peraturan sendiri, melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa. Orang cukup umur perlu memperlihatkan kesempatan pada anak untuk menciptakan peraturan, biar anak menyadari bahwa peraturan berasal dari akad dan sanggup diubah.

2. Tahap moralitas otonomi. Usia 7-10 tahun


Anak berada dalam masa transisi dan memperlihatkan sebagian ciri-ciri dari tahap pertama perkembangan sopan santun dan sebagian ciri dari tahap kedua yaitu moralitas otonom. Anak mulai sadar bahwa peraturan dan aturan dibentuk oleh manusia, dan saat menilai sebuah peraturan, anak akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya. Moralitas akan muncul dengan adanya kerjasama atau korelasi timbal balik antara anak dengan lingkungan dimana akan berada.pada masa ini anak percaya bahwa saat mereka melaksanakan pelanggaran, maka otomatis akan mendapatkan hukumannya.

Hal ini sering menciptakan anak merasa khawatir dan takut berbuat salah. Namun saat anak mulai berfikir secara heteronom, anak mulai menyadari bahwa eksekusi terjadi apabila ada bukti dalam melaksanakan pelanggaran. Piaget yakin bahwa semakin berkembang cara berfikir anak, akan semakin memahami wacana persoalan-persoalan sosial dan bentuk kerjasama yang ada di dalam lingkungan masyarakat.

Selain Piaget, Kohlberg juga menekankan bahwa cara berfikir anak wacana sopan santun berkembang dalam sebuah tahapan. Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan kebijaksanaan sehat wacana moral, dan setiap tingkatannya mempunyai 2 (dua) tahapan, yaitu:

3. Moralitas prakonvensional


Pada tingkatan ini, baik dan jelek diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman) eksternal. Pada tingkatan ini terdapat dua tahapan, yaitu tahap pertama moralitas heteronom dan tahap kedua individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap pertama anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berfikir bahwa mereka harus patuh dan takut pada hukuman.

Moralitas dari suatu tindakan dinilai atas dasar akhir fisiknya. Misalnya dicubit saat anak bersalah, dan sebagainya. Pada tahap kedua anak berfikir bahwa mementingkan diri sendiri yaitu hal yagn benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berfikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara. Jika beliau berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya, anak menyesuaikan terhadap sosial untuk memperoleh penghargaan. Contoh; berbuat benar dan dipuji “benar sekali”.

4. Moralitas konvensional


Pada tingkatan ini individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, contohnya oleh orang bau tanah atau pemerintah. Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan korelasi baik dengan mereka. Pada tingkatan ini mempunyai dua tahapan, yaitu tahap pertama ekspektasi interpersonal, dan tahap kedua moralitas sistem sosial. Pada tahap pertama anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebaga dasar evaluasi moral. Seseorang menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan korelasi baik dengan mereka. Contoh; mengembalikan krayon ke daerah semula setelah dipakai (nilai sopan santun tanggungjawab).

Pada tahap kedua, evaluasi sopan santun didasari oleh pemahaman wacana keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban. Seseorang yakin bahwa jikalau kelompok sosial mendapatkan peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, maka mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu biar terhindar dari kamanan dan ketidaksetujuan sosial. Contoh; bantu-membantu membersihkan kelas, semua anggota kelompok wajib membawa alat kebersihan (nilai moral=gotong royong).

5. Moralitas pascakonvensional


Pada tingkatan ini seseorang menyadari adanya jalur sopan santun alternatif, sanggup memperlihatkan pilihan, dan menetapkan bersama wacana peraturan, dan moralitas didasari pada prinsip-prinsip yang diterima sendiri. Ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh alasannya merupakan kesadaran dari diri orang tersebut. Tingkatan ini mempunyai dua tahap, pertama hak individu, dan tahap kedua prinsip universal. Pada tahap pertama, individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih utama. Seseorang menyadari perlunya keluwesan dan adanya modifikasi dan perubahan standar sopan santun apabila itu sanggup menguntungkan kelompok secara keseluruhan.

Contoh; pada awal tahun ajaran, orang bau tanah diperkenankan menunggu anaknya selama kurang lebih satu minggu, setelah itu anak harus berani ditinggal. Pada tahap kedua seseorang menyesuaikan dengan standar sosial dan impian internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan menghindari kecaman sosial. Contoh; anak secara sadar merapikan kamar sendiri segera setelah ia berdiri tidur dengan harapan biar kamarnya terlihat selalu dalam keadaan rapi.

Nilai-nilai sopan santun yang sanggup dikembangkan pada anak usia dini antara lain; (1) kerjasama, (2) bergiliran, (3) disiplin diri, (4) kejujuran, (5) tanggungjawab, (6) bersikap sopan dan berbahasa yang santun. Untuk mengembangkan sopan santun tersebut, sanggup dilakukan dengan beberapa seni administrasi melalui banyak sekali kegiatan berguru yang menyenangkan dan bervariasi. Beberapa seni administrasi yang sanggup dilakukan untuk mengembangkan sikap sopan santun pada anak usia dini yaitu:

  1. Memberi anak kesempatan untuk sharing wacana perasaan dalam lingkungan yang nyaman dan aman.
  2. Mengajarkan hal-hal yang realistik sanggup dimengerti oleh anak.
  3. Memberi kesempatan anak untuk berlatih berguru kooperatif dan menyebarkan tanggungjawab.
  4. Mengundang sobat yang berbeda budaya, mengembangkan rasa nasionalisme.
  5. Mengembangkan aturan kelas bersama.
  6. Memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapat, bereksperimen dalam belajar.
  7. Memberi pola sikap/perilaku yang baik; keingin-tahuan, toleransi, dan lain-lain.

No comments:

Post a Comment