Sunday, 24 January 2016

Jadi Terpelajar Jangan Bersedih, Nikmatilah Rasa Sakit


Banyak muslimah menganggap bahwa rasa sakit yaitu segala penderita yang tidak sepantasnya terulang kembali. Rasa sakit ini bahkan bagi sebagian kata telah menjadi momok seram ketika kembali mengingatnya. Dalam bukunya "La Tahzan", Aidh al-Qarni menjelaskan dengan gamblang mengenai nikmatnya rasa sakit.

Aidh al-Qarni menegaskan dengan cerdas bahwa rasa sakit tidak selamanya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang. Biasanya ketulusan sebuah oa muncul tatklala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ketulusan tasbih yang senantiasa terucap ketika rasa sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat ketika menuntut itulah yang telah mengantarkan seorang pelajar menjadi ilmuwan terkemuka.

Masih berdasarkan al-Qarni bahwa perjuangan keras seorang penyair menentukan kata-kata untuk bait-bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat menawan. Ia dengan hati urat syaraf, dan darahnya, telah larut bersama kerja kerasnya itu, sehinga syair-syairnya bisa menggerakan perasaan dan menggoncangkan hati

Begitu juga dengan upaya keras seorang penulis telah menghasilkan goresan pena yang sangat menarik dan peuh dengan ‘ibrah’, contoh-contoh dan petunjuk. Lain dengan halnya dengan seorang pelajar yang bahagia hidupnya foya-foya, tidak aktif, tidak pernah terbelit masalah, tidan tidak pula tertimpa musibah. Ia akan selalu menjadi orang yang malas, enggan bergerak, dan gampang putus asa.

Qarni juga menambahkan bahwa seorang penyait yang tidak pernah mencicipi pahitnya berusaha dan tidak pernah mereguk pahitnya hidup, maka untaian qasihdah-qasihdah-nya hanya akan terasa menyerupai kumpulan kata-kata murahan yang tidak bernilai. Sebab qasidah-qasidah-nya hanya keluar dari lisannya, bukan dari perasaannya. Apa yang ia utarakan hanya sebatas penarannya saja dan bukan dari hati nuraninya.

Qarni memberi referensi bahwa pola kehidupan yang baik yaitu kehidupan kaum mukmin generasi awal. Yaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama, dan diawal masa perutusan. Mereka yaitu orang-orang yang mempunyai keimanan yang kokokh, hati yang baik, bahasa yang bersahaja dan ilmu yang luas. Mereka mencicipi keras dan pedihnya kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan lantaran semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Mereka menjadi tanda kesucian, panji kekebalan, panji kebajikan dan simbol pengorbanan.

"...Yang demikian itu ialah lantaran mereka ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu daerah yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpa sesuatu tragedi kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu amal salih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah : 120)

Oleh lantaran itu, tak usah bersedih bila Anda harus bersusah payah, khususnya kaum muslimah, dan tak usah takut dengan beban hidup, lantaran mungkin saja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu, serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti. Qarni menegaskan bahwa kalau Anda hidup dengan penuh hati yang berkobar, cinta yang membara dan jiwa yang bergelora, akan lebih baik dan lebih terhormat dari pada harus hidup dengan perasaan yang dingin, semangat yang layu dan jiwa yang lemah.

Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan harapan mereka, dan dikatakan kepada mereka : "Tinggallah kau bersama orang-orang yang tinggal itu" (QS. At-Taubah : 46)

Qarni mencontohkan seorang penyair yang ia kagumi mempunyai semangat hidup tinggi, pengabdian terhadap kehidupan yang tidak asal. Kehiupan baginya selalu punya makna. Dialah Malik ibn ar-Rayyib. Ia menyesali dirinya :

Tidakkah kau lihat saya menjual kesesatan dengan hidayah dan saya menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang Alangkah indahnya aku, tatkala saya biarkan anak-anakku taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta-hartaku wahai kedua sahabat perjalananku, ajal semakin bersahabat berhentilah di daerah tinggi lantaran saya akan tinggal malam ini. Tinggallah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat lari ia, telah terang yang akan menimpa Goreslah daerah tidurku denganujung gerigi dan kembalikan ke depan mataku kelihatan selendangku Jangan kau iri, semoga Allah memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga makin luas untukku.

Demikianlah, ungkapan-ungkapannya demikian syahu, penyesalan yang sangat berat iucapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup. Ia tak ubahnya seorang penasehat yang juga pernah mencicipi apa yang ia ucapkan. Dan, biasanya, perkataan atau nasehat orang menyerupai itu akan gampang masuk ke dalam relung kalbu dan meresap kedalam ruh yang paling dalam. Semua itu yaitu lantaran ia mengalami sendiri kehidupan pahit dan beban berat yang ia bicarakan.

"... Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka kemudian menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi akibat kepada mereka dengan kemenangan yang bersahabat (waktunya)". (QS. Al-Fath : 18)

Jangan cela orang yang sedang kasmaran sampai belitan keras deritamu berada dalam derita dirinya
Menurut Qarni, karya-karya yang demikian itu tak ubahnya dengan potongan-potongan es dan bongkahan-bongkahan tanah; cuek dan tawar. Semua itu, tak lain lantaran nasehat-nasehat itu tidak terucap dari verbal seseorang yang berlangsung pernah mengalami dan menghayati sendiri suatu kesedihan dan kesengsaraan.

"... Mereka menyampaikan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya" (QS. Ali ‘Imran : 167)

Agar ucapan Anda sanggup menyentuh hati pembacanya, masukanlah terlebih dahulu kedalamnya. Sentuhlah, rasakanlah, dan resapilah pasti Anda akan bisa memperlihatkan sentuhan ke tengah masyarakat

"Kemudian, apabila telah Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan banyak sekali macam tumbuh-tumbuhan yang indah" (QS. Al-Hajj : 5)

Wahai muslimah, tentulah klarifikasi diatas bila menjadi pelipur kita semua perihal bagaimana menikmati rasa sakit. Bahwa rasa sakit itu akan menjadi ‘sahabat’ yang lama-lama, sebagai seorang 'sahabat' maka ia tidak aka menyakiti meskipun namanya sudah terlarut rasa sakit.

No comments:

Post a Comment