Sunday 24 January 2016

Jadi Arif Perlu Adanya Perubahan Paradigma Ihwal Mencar Ilmu Mengajar


Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam masa teknologi kini ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru) tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, jikalau begitu apa kriteria keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah disampaikan?

Pandangan mengajar yang hanya sebatas memberikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas memberikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.

Pertama, siswa bukan orang cukup umur dalam bentuk mini, akan tetapi mereka yakni organisme yang sedang berkembang. Agar mereka sanggup melakukan tugastugas perkembangannya, diperlukan orang cukup umur yang sanggup mengarahkan dan membimbing mereka biar tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh alasannya yakni itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi isu yang memungkinkan setiap siswa sanggup dengan gampang mendapat aneka macam informasi, kiprah dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit akan tetapi justru semakin komplek.

Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari isu yang dibutuhkan, akan tetapi ia juga harus bisa menyeleksi aneka macam informasi, sehingga sanggup memperlihatkan pada siswa isu yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa biar tidak terpengaruh oleh aneka macam isu yang sanggup menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena itulah, kemajuan teknologi menuntut perubahan kiprah guru. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber berguru yang bertugas memberikan informasi, akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber berguru untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.

Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang mustahil sanggup menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, aturan dan lain sebagainya. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, kini menjadi kenyataan. Dalam bidang teknologi, begitu hebatnya orang membuat bendabenda mekanik yang bukan hanya diam, tapi bergerak, bahkan sanggup terbang menembus angkasa luar.

Demikian juga kehebatan para mahir yang bergerak dalam bidang kesehatan yang bisa mencangkok organ badan insan sehingga menambah cita-cita hidup manusia. Semua dibalik kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, bukan hanya sekedar mengahapal informasi, menghapal rumusrumus, akan tetapi bagaimana memakai isu dan pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.

Ketiga, penemuanpenemuan gres khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman gres terhadap konsep perubahan tingkah laris manusia. Dewasa ini, anggapan insan sebagai organisma yang pasif yang perilakunya sanggup ditentukan oleh lingkungan menyerupai yang dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang kini lebih percaya, bahwa insan yakni organisme yang mempunyai potensi menyerupai yang dikembangkan oleh aliran kognitif wholistik. Potensi itulah yang akan memilih sikap manusia. Oleh alasannya yakni itu proses pendidikan bukan lagi menawarkan stimulus, akan tetapi perjuangan membuatkan potensi yang dimiliki. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, akan tetapi sebagai subjek berguru yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa.

Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar tidak hanya diartikan sebagai proses memberikan materi pembelajaran, atau menawarkan stimulus sebanyakbanyaknya kepada siswa, akan tetapi juga mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan biar siswa berguru sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan yakni proses membuat iklim yang baik menyerupai penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan halhal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa bahagia berguru sehingga mereka sanggup berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran yang sering digunakan cukup umur ini.

Kata “pembelajaran” yakni terjemahan dari “instruction”, yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan sanggup mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat aneka macam macam media menyerupai bahanbahan cetak, acara televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajarmengajar, dari guru sebagai sumber berguru menjadi guru sebagai fasilitator dalam berguru mengajar.

Hal ini menyerupai yang diungkapkan Gagne (1992: 3), yang menyatakan bahwa "instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated". Oleh alasannya yakni itu berdasarkan Gagne, mengajar atau “teaching” merupakan kepingan dari pembelajaran (instruction), di mana kiprah guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen aneka macam sumber dan akomodasi yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.

Lebih lengkap Gagne menyatakan:
"Why do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a human being, not just those set in motion by individual who is a teacher. Instruction may include events that are generated by a page of print, by a picture, by a television program, or by combination of physical objects, among other things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement of any of these events" (Gagne 1992: 3).

Dalam istilah "pembelajaran" yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasilhasil teknologi yang sanggup dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek berguru yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses berguru mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari materi pelajaran. Dengan demikian, jikalau dalam istilah "mengajar (pengajaran)" atau "teaching" menempatkan guru sebagai "pemeran utama" menawarkan informasi, maka dalam "instruction" guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage aneka macam sumber dan akomodasi untuk dipelajari siswa.

No comments:

Post a Comment